PesantreN

Pengertian pesantren berasal dari kata santri dgn awalan pe-dan akhiran an berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yg dikutip oleh Haidar Putra Daulay mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yg belajar agama Islam sehingga dgn demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul utk belajar agama Islam. Ada juga yg mengartikan pesantren adl suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yg bersifat “tradisional” utk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian (2004: 26-27).

Dalam kamus besar bahas Indonesia pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adl lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dgn materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan utk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dgn menekankan penting moral dalam kehidupan bermasyarakat (Fenomena 2005: 72).

Pondok pesantren secara definitif tak dapat diberikan batasan yg tegas melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yg memenuhi ciri-ciri yg memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yg lbh konkrit krn masih meliputi beberapa unsur utk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif (Artikel 1).
Maka dgn demikian sesuai dgn arus dinamika zaman definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awal pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tak lagi selama benar.

Tipologi Pondok Pesantren

Seiring dgn laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat bentuk hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tak lagi sesederhana seperti apa yg digambarkan seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dgn pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub yg dikutip oleh Khozin mengatakan bahwasa ada beberapa pembagian pondok pesantren dan tipologi yaitu :

  • Pesantren Salafi yaitu pesantren yg tetap mempertahankan pelajaran dgn kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yg lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dgn metode sorogan dan weton.
  • Pesantren Khalafi yaitu pesantren yg menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi) memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
  • Pesantren Kilat yaitu pesantren yg berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yg dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
  • Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yg lbh menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dgn program yg terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101)

Sedangkan menurut Mas’ud dkk ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :

  • Pesantren yg mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yg diajarkan dipesantren ini sepenuh bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yg ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain.
  • Pesantren yg memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dgn kurikulum yg disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yg ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yg dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
  • Pesantren yg menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yg sampai Perguruan Tinggi yg tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adl contohnya.
  • Pesantren yg merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yg terbanyak jumlahnya. (2002:149-150)

Dinamika Pondok Pesantren

Dalam perspektif sejarah lembaga penidikan yg terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yg panjang sejak sekitar abad ke 18. seiring denga perjalanan waktu pesantren sedikit demi sedikit maju tumbuh dan berkembang sejalan dgn proses pembangunan serta dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yg dilakukan pesantren utk mendinamisir diri sejalan dgn tuntutan dan perubahan masyarakatnya.
Dinamika lembaga pendidikan Islam yg relatif tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal seperti :

  • Peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama bahwa pada tahun 1977 ada 4195 pesantren dgn jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut menjadi 5661 pesantren dgn 938.397 santri pada tahun 1981 kemudian meningkat menjadi 15.900 pesantren dgn jumlah santri 59 juta orang pada tahun 1985.
  • Kemampuan pesantren utk selalu hidup ditengah-tengah masyarakat yg sedang mengalami berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun dana serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yg berdampak negatif. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yg mempunyai kekuatan utk survive. Dan pesantren juga mampu mendinamisir diri ditengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yg dibutuhkan masyarakat. (Khozin2006:149)

Sedangkan perkembangan secara kuantitatif maupun kemampuan bertahan ditengah perubahan tak otomatis menunjukkan kemampuan pesantren utk bersaing dalam memperebutkan peserta didik. Seperti Dhofir mengatakan (1992) bahwa dominasi pesantren di dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950-an. Salah satu faktor adl lapangan pekerjaaan “modern” mulai terbuka bagi warga Indonesia yg mendapat latihan di sekolah-sekolah umum. Akan tetapi setelah proklamasi kemerdekaan pemerintah lbh memberikan perhatian terhadap sistem pendidikan nasional dgn membangun sekolah-sekolah umum dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yg tetap berjalan meneruskan segala tradisi yg diwarisi secara turun temurun tanpa perubahan dan inprovisasi yg berarti kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yg mencoba mencari jalan sendiri dgn harapan mendapatkan hasil yg lbh baik dalam waktu yg singkat. Pesantren semacam ini adl pesantren yg menyusun kurikulum berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.

Maka dari pada itu apapun motif perbincangan seputar dinamika pesantren memang harus diakui mempunyai dampak yg besar contoh semakin dituntut dgn ada teknologi yg canggih pesantrenpun tak ketinggalan zaman utk selalu mengimbangi dari tiap persoalan-persoalan yg terkait dgn pendidikan maupun sistem di dalam pendidikan itu sendiri mulai dari sisi mengaji ke mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di dalam pesantren itu sendiri bahwa mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Karena pesantren tak akan pernah mengalami statis selama dari tiap unsur-unsur pesantren tersebut bisa menyikapi dan merespon secara baik apa yg paling aktual. (Mas’ud dkk 2002:72-73).

Pages

Jumat, 06 Mei 2011

Antara Syariat Syekh Siti Jenar & Wali Lainnya

Terinspirasi oleh Tulisan Danalingga yang menarik tentang masalah Syahadat Siti Jenar yang dikaitkan dengan merebaknya aliran sesat. Tulisan ini sequel dari tulisan sebelumnya.

MENUJU Tuhan rupanya menjadi hal yang terus menerus diupayakan para hamba pencinta. Dalam ajaran agama, banyak cara dan jalan yang ditempuh oleh para ulama (rohaniwan) mengajarkan pada kita. Salah satu contoh di dalam ajaran Islam mengenal istilah adalah gerakan batin (hake­kat).
Semisal yang dica­nangkan oleh Al Hallaj dan diterus­kan oleh Syekh Siti Jenar di Indonesia. Wali ini tidak dimasukan dalam ling­kungan atau anggota Wali Sanga. Mungkin kare­na sistem dan metodanya tidak sama. Tetapi gene­rasinya terus berkem­bang hingga kini. Tidak mengetahui di mana shalatnya.
Di samping itu ada banyak jenis gerakan selain Syekh Siti Jenar yang dica­nang­kan oleh para Wali (songo). Dianta­ranya adalah thareqat. Pertanyaanya, apa­kah gerakan tarekat yang dicanang­kan para wali itu masuk dalam kategori syareat atau gerakan hakekat?
Islam lahir didahului oleh hakekat baru kemudian syareat. Buktinya Nabi saw lama bertahannuts (bermalam) di gua Hira. Beliau menghabiskan malam-malam­nya di sana untuk beribadah dengan mengabdikan diri kepada Allah swt. Beberapa malam kemu­dian, turun­lah wahyu pertama. Di sinilah syareat mulai dibentuk untuk umatnya.
Namun pada giliran periode berikutnya, muncul gerakan yang mirip hakekat yang diajarkan oleh Al Hallaj yang cukup bertentangan dengan syareat pada umum­nya. Beratus tahun kemu­dian hadir pula di Indonesia. Pelopor­nya adalah Syekh Siti Jenar.
Gerakan ini cukup berhasil membawa para pengi­kutnya untuk terus mengupayakan gerak­an ini berkembang. Entah bagai­ma­na, akhirnya syareat yang biasanya dianut oleh masyarakat umum tiba-tiba tidak lagi menjadi fokus utama dalam beri­badah kepada Allah. Yang hadir dan ramai di anut oleh masyarakat adalah sejenis hakekat. Di antara yang kerap dibicarakan orang adalah ung­kapan “eling”. Atau “manungaling kaula Gusti”. Semacam penyadaran akan penya­tuan antara hamba dengan Tuhannya.
Konon ajaran itu masuk dalam kategori hakekat. Adapun syareat­nya tidak seperti para penganut Islam biasanya. Atau barang­kali tidak ada syareat sama sekali. Sean­dainya pun ada syareat, maka dipastikan sangat berbeda dengan para pemegang rukun Islam pada umumnya.
Ajaran Syekh Siti Jenar, salah satunya, menurut salah satu pembimbing tarekat, adalah gera­kan shalat di atas daun. Generasinya hingga kinipun ma­sih mem­praktek­kannya. Selembar daun di­po­tong dan digelar sebagai sajadahnya lalu melak­sanakan shalat di atas daun itu di per­muka­an air.
Atau suatu ketika selembar daun pisang menempel di dahannya, maka di situlah mengerjakan shalatnya. Jadi begi­tulah seseorang yang (khusus) mendalami ilmu syareat Syeh Siti Jenar.
Karenanya, tidak musta­hil seseorang itu mempelajari bagai­mana bisa terbang dan meng­hilang. Itulah yang diajar­kannya. Itulah karomahnya. Itulah yang saya dengar dari guru. Masalah benar tidaknya saya belum tahu.
Bagaimana dengan Gerakan para Wali Lainya?
Menurut Abdullah As Sya’roni bukan itu yang istimewa. Karomah dipandang oleh As Sya’roni adalah al Istiqomah, meski­pun kecil kelihatannya. Sehingga timbul ungkapan “khoirun min alfi karomah” istiqomah itu lebih baik daripada seribu karomah. Karenanya, tidak perlu terta­rik dan tidak perlu mempelajari hal-hal seperti itu.
Inilah yang disebut gerakan tarekat yang dipelo­pori oleh para aulia. Karenanya pernah ada seorang ulama besar mem­buat geger orang-orang, di mana shalat­nya tidak pernah diketahui. Namun tiba-tiba saja ulama itu ada di sana. Wallahu a’lam kita tidak tahu, na­mun itulah gerakan mereka. Jadi sangat antik mereka punya gerakan.
Karena itu wali Songo tidak mau keting­galan punya gerakan juga. Thareqah namanya. Jadi tarekat yang diajarkan para wali itu sangat jelas dan terlihat apa adanya. Para pengikut tarekat saat berkumpul ramai-ramai kemudian me­la­kukan dzikir tarekat bersama-sama. Ramai-ramai di talqin atau di baiat oleh musyidnya, oleh muqoddam atau khali­fah, terserah istilahnya apa, itu sema­ta-mata untuk melestarikan gerak­an wali songo.
Itulah alasannya mengapa para pengikut tarekat berkumpul. Sementara para peng­ikut syekh Siti Jenar pun gigih membikin generasi penerusnya dengan gerakan-gerak­an yang dianggap kontro­ver­­sial. Sementera grupnya Wali Songo ternyata kelihatannya lebih berhasil dalam gerakannya. Sehingga berkem­banglah tarekat di seluruh dunia de­ngan berbagai versi dan silsilahnya hingga kini.
Salah satu inti gerakan tarekat yang dikedepankan oleh para Wali Songo adalah hal yang jelas bentuk sya­reat­­nya. Buktinya adalah orang-orang tarekat dzikir­knya jelas, bagai­mana uca­pan­nya, dimana tempat berdzikir­nya, apa yang diucapkan, siapa gurunya dan ke­pada siapa silsilahnya begitu jelas hing­ga wusul kepada Rasulullah saw. Tanpa ada yang disem­bunyikan sama se­­­ka­­li.
Tentang ajaran hakikat pada tarekat yang diajarkan para wali hanya mengajar­kan khofi selebihnya dzikir, sholawat dan membaca Al qur’an kepa­da para pengamal tarekat. Khofi sendiri merupakan hal rahasia yang tidak bisa diajarkan melainkan dengan talqin kepada mursyidnya, muqoddam atau khalifahnya.
Namun ajaran “hakekat” yang dikedepankan oleh tarekat tidak untuk menciptakan sebuah kelebhan (karomah). Semata-mata hanya untuk bagaimana mampu ber­komunikasi kepada Allah dalam segala tingkat kea­da­an dan situasi. Jika pun ada kelebihan yang ditimbulkan, hal itu semata-mata karena maziah saja dan tidak ditam­pakkan.
Bahkan jika seorang pengikut tarekat memiliki karomah, ia sendiri menganggapnya sebagai beban yang berat sekali dipikul­nya. Pendek­nya, menjadi pengamal ta­re­­kat adalah individu yang siap menjadi orang yang biasa-biasa saja.
Tak Perlu Diadu
Bukan berarti gerakan Wali Songo lebih baik dari gerakan Syekh Siti Jenar atau seba­liknya. Hal itu tidak perlu diadu dan dibuat komparasi (perban­dingan). Kare­na hal ini tidak perlu diadu antara kelebihan dan kekurangannya. Sebab dalam salah satu ajaran tarekat menye­but­kan bahwa tidak perlu mengo­reksi ilmu orang lain. Nafsi-nafsi saja. Memperbaiki dan menambah kekurangan diri.
Akhirnya, seringkali para guru meng­ajar­kan kepada para pengikutnya: marilah bersama-sama untuk saling tertarik guna mendalami ilmu bersama Allah SWT. Ilmu ini berada dalam hati, bukan di dalam pikiran. Sebab ilmu tarekat tidak­lah mengajarkan sese­orang ahli suatu bidang, melainkan bagai­mana memanaj hati. Jika hati tenang maka akan meno­long segala urusan keduniaan dan kea­khiratan. Bukankah Allah men­jan­jikan: “Ingatlah, hanya dengan meng­ingati Allah-lah hati menjadi tenteram.. (Ar Ra’ad: 28)
Kesimpulan:
· Tarekat merupakan sebuah bentuk gerakan keimanan yang bertujuan untuk memperbiki akhlak melalui upaya pembersihan diri (batin) de­ngan terus menerus mengingat Alalh.
· Ada yang berorientasi hanya pada inti hakekat saja (batin) tanpa dengan sya­reat pada umumnya. Diwakilii oleh gerakan Al Hallaj dan generasi beri­kut­nya adalah Syekh Siti Jenar.
· Ada pula yang mementingkan syareat dan hakekat sekaligus. Namun lebih condong ke pelaksanaan syareat se­perti biasanya. Sementara hakekat hanya dalam bentuk dzikir khofi saja. Ini yang kebanyakan diwakili oleh gerakan tarekat Wali Songo dengan berbagai jenisnya yang mu’tabarah.
· Pada akhirnya, gerakan Wali Sanga ini lebih banyak diterima oleh masya­rakat.
· Tidak perlu membandingkan dua jenis gerakan ini, mana yang lebih unggul. Masing-masing menjalankan keya­kinan­nya. Wallhu a’lam.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More